Musim Salah Paham (Pandangan seorang guru SMP tentang tanah batas; Entikong)




Tulisan saya kali ini tetap berkenaan dengan bidang yang sedang saya geluti, yaitu tentang dunia pendidikan. Saya sebagai salah seorang guru SMP di sebuah sekolah negeri di perbatasan memandang sangat prihatin atas apa yang terjadi pada beberapa generasi penerus di bumi Indonesia. Bagaimana tidak? Sebuah daerah yang memiliki potensial tinggi dan anak bangsa yang berpotensi cukup, harus banyak hancur dan mengeluh dengan kondisi dan harapan masing-masing. Saya menemukan bahwa banyaknya terjadi kesimpangan sosial pada budaya masyarakat kebanyakan, dan sebagian dikendarai oleh uang. Saya bisa menyatakan hal sedemikian kasihannya karena saya telah mengobservasi langsung dengan apa yang terjadi pada lingkungan sekitar, sekolah dan tingkah laku dari para murid saya. Saya tidak bilang bahwa generasi di bumi batas ini akan hancur, tetapi persentasi kegagalan akan sangat dimungkinkan lebih besar daripada presentasi keberhasilan.

Lalu apa penyebabnya?
Semua pendidikan bukan berangkat dari sebuah sekolah, tetapi pendidikan pertama yang seorang anak lihat dan tauldani adalah keluarga. Saya tidak lahir dari keluarga yang sempurna tetapi saya lahir dari keluarga yang memiliki konsep dan tujuan kedepan yang sangat jelas. Sehingga saya dan seorang saudara kandung saya mendapatkan gambaran paham sejak kecil tentang bagaimana seharusnya pola berfikir masyarakat terdidik. Kami juga diajari untuk mengenal agama sebagai dasar kami untuk menentukan langkah. Konsep yang sederhana namun cukup untuk kami mudah berputus asa dalam menghadapi masalah. Dan apa yang saya lihat tentang keluarga di bumi perbatasan? Sangat berbeda dengan para keluarga yang seharusnya. Berdasarkan observasi langsung  dari saya, ada banyak orang tua yang bercerai dan membina keluarga lagi sehingga terkadang ada banyak anak yang tidak mendapatkan makna penting dari sebuah keluarga. Ketika sebuah keluarga bercerai, apa yang bisa seorang anak maknai dan dapati konsep karena kehidupan awal hanya ada gambaran dua orang dewasa saling ego dan memilih berpisah dan mereka harus mempelajari karakter-karakter baru dalam keluarga baru mereka. Sebagian dari mereka tidak menyukai itu dan memilih memaknai sendiri. Apa selanjutnya? Seorang anak dari keluarga “broken home” menciptakan konsep dan pemahaman sendiri untuk makna sebuah keluarga, dan kebanyakan SALAH PAHAM. Saya tidak mengerti kenapa banyak pasangan yang bercerai disuatu daerah, tetapi hal tersebut memberikan dampak yang vital terhadap perubahan pola pikir anak. Mereka yang menjadi korban perceraian akan memfokuskan masalah yang terjadi lebih dulu dirumah dibandingkan dunia sekolah yang harusnya mereka fokuskan.
Masalah kedua yang biasa nya dilema oleh seorang anak adalah orang tua terlalu berfikir “uang’ adalah segalanya untuk anak mereka, disatu sisi mereka melupakan bahwa anak untuk usia sekolah sangat membutuhkan perhatian dan kebutuhan emosional yang cukup untuk membentuk karakter mereka setelah besar nanti. Yang disalah paham untuk beberapa orang tua adalah kebanyakan dari mereka memberikan uang saku yang banyak tanpa memberitahukan dan mengkontrol jelas kemana dan harus bagaimana mereka menggunakannya. Apa yang terjadi? Para anak-anak /remaja menggunakan uang ke hal yang menurut mereka menarik tanpa tau apa makna dari semua yang mereka lakukan. Tak sedikit letak geografis juga memberikan dampak dari pemanfaatan uang. Dengan uang, mereka bisa membeli apapun dan perbatasan kerab dengan narkoba. Fakta yang tak kalah menyejutkan, kebanyakan anak usia dini di Entikong adalah perokok aktif. Mulai dari masalah keluarga dan rendahnya pengawasan orang tua terhadap usia perkembangan anak, memicu terjadinya seks bebas dan tingginya persentasi putus sekolah. Saya tidak bisa mendeskripsikan secara nyata dengan data, tetapi observasi langsung dari banyaknya masalah yang saya temui dilapangan merujuk pada buruk nya lingkungan yang tercipta di tanah perbatasan. Mungkin hanya 30% keluarga yang benar-benar menjalankan kewajiban dan tuntutan sebagai keluarga, sehingga dimanakah letaknya perubahan SDM pada masyarakat? Apa perlu ajaran tahun 90an kita tanamkan kembali di ruang lingkup yang sudah terlampau jauh tidak jelas?
Penyebab yang berikutnya adalah rendahnya penghasilan ekonomi keluarga, menyebabkan beberapa anak terpaksa bekerja dengan mendapat tekanan persaingan ekonomi diantara orang tua. Ini bukan kondisi melainkan budaya, budaya membanding memiliki apa yang orang lain miliki.
Setelah anak memasuki waktu sekolah, beberapa diantaranya akan mengalami banyak masalah disekolah karena tingkah laku yang diluar batas dan ketidak siapan anak tersebut untuk mengikuti pelajaran. Orang tua dipanggil oleh pihak sekolah, namun tak jarang mereka mengabaikan panggilan. Bagaimana pihak sekolah ingin memperjuangkan perhatian yang seharusnya mereka dapatkan jika orang tua nya sudah mentulikan diri atas semua proses tersebut.
Dan pertanyaan nya adalah, bagaimana kedepannya tanah batas yang penuh salah paham pola pikir? Banyak anak jadi berandalan dan putus sekolah, bagaimana bisa mereka mengubah SDM dan ekonomi keluarga jika orang tua saja sudah di melakoni peran yangs seharunya. Saya percaya semua orang tua yang normal itu baik dan akan melakukan yang terbaik untuk anaknya, namun kurangnya SDM membuat mereka melalaikan apa yang seharusnya mereka isi kepada anak mereka semenjak usia dasar.

Komentar